
Di sebuah lapangan terbuka di Batavia, awal abad ke-20, bayangkan suasananya: sebatang tiang pinang yang tinggi dilumuri pelumas licin berdiri, dan di puncaknya tergantung hadiah berupa beras, gula, tepung, pakaian—segala yang sangat bernilai bagi orang-orang pribumi yang hidup di bawah tekanan ekonomi kolonial.
Para peserta, pria-pria pribumi, berkumpul dengan pandangan campur antara keberanian dan keterpaksaan. Bagi mereka, memanjat tiang ini bukan sekadar permainan—melainkan peluang tipis untuk mendapatkan kebutuhan hidup. Namun, peluang itu datang dengan harga tinggi: mereka harus menjadi objek hiburan. Saat mereka mulai memanjat, terpeleset, bahkan terjatuh berulang kali, tawa dan sorak tonton muncul—bukan dalam bentuk dukungan, melainkan ejekan dan hiburan bagi penonton Belanda yang duduk menyaksikan dengan santainya.
Bagi masyarakat Belanda di masa itu, panjat pinang adalah hiburan eksotis dari tanah jajahan. Bagi peserta pribumi, ia adalah peluang untuk mendapatkan sesuatu yang langka—walau harus menjadi tontonan.
Sejarawan Marieke Bloembergen memasukkan acara semacam ini dalam kategori colonial spectacles, tontonan yang menempatkan orang-orang pribumi sebagai objek hiburan dan, secara halus, memperlihatkan hierarki sosial antara penguasa dan yang dikuasai.
Momen ini membingkai masyarakat pribumi sebagai objek eksotik untuk dinikmati dan dijadikan hiburan kaum kolonial. Dalam permainan seperti ini, ada narasi tidak tertulis: bahwa kekuasaan kolonial tidak hanya menindas secara politik dan ekonomi, tetapi juga mempermalukan secara simbolik.
Lalu, pikirkan sejenak: hadiah itu bukan perhiasan—tetapi kebutuhan primer. Peserta mungkin lapar, miskin, atau hidup dalam kondisi minim akses, sementara yang menonton adalah mereka yang punya cukup: pejabat, pengurus, serta keluarga Belanda. Mereka duduk nyaman, tertawa melihat peserta berjuang, hampir seperti sandiwara murahan yang dimainkan oleh mereka yang tidak punya pilihan.
Narasi historis ini menunjukkan bahwa panjat pinang kolonial bukan sekadar hiburan. Ia adalah praktik kejam yang memperlihatkan struktur kekuasaan dan eksploitasi. Peserta yang mungkin berjalan di tepi kemiskinan dipaksa memanjat untuk hadiah dasar, di bawah sorot tawa dari mereka yang dudanya lebih besar daripada sang pejuang di tiang.
Sebagaimana disampaikan oleh beberapa sejarawan:
“Perlombaan memanjat pohon pinang pada masa ini hanya diikuti oleh orang-orang pribumi. Sedangkan orang-orang Belanda cuma menonton sambil tertawa-tawa menyaksikan orang pribumi … mati-mati-an memanjat pohon pinang.”
Kalimat itu begitu lugas—menunjukkan bagaimana lomba dianggap sebagai hiburan yang melibatkan penindasan simbolik.
Asal-Usul yang Melintas Budaya
Permainan memanjat tiang licin—yang kita kenal sebagai panjat pinang—memiliki akar yang luas, tak hanya di Nusantara. Di Eropa dikenal sebagai greasy pole, sedangkan di Tiongkok Selatan (Fujian, Guangdong, Taiwan) dikenal dengan qiang-gu sejak Dinasti Ming. Tradisi qiang-gu bahkan pernah dilarang pada Dinasti Qing karena menyebabkan korban jiwa.
Ketika praktik ini tiba di Hindia Belanda, ia diterjemahkan ulang: bukan untuk merayakan kultur lokal, tetapi dikontraskan sebagai tontonan yang memperkuat struktur hierarki kolonial—di mana yang lemah dan terpinggirkan diperlakukan sebagai hiburan.
Kisah Nyata: Penderitaan Tersembunyi
Bayangkan bahu yang terkilir, kulit tergores karena jatuh dari tiang yang dilumuri gemuk, rasa malu saat tergelatak di tanah dengan mata menatap kerumunan yang tertawa—ini bukan mitos, melainkan realitas yang dialami banyak peserta.
Ada juga pendapat kritis yang mengatakan bahwa lomba semacam ini justru menunjukkan betapa rapuhnya kemanusiaan dalam relasi kuasa kolonial. Seorang pengamat menyindir bahwa permainan ini membagi kelas sosial secara dramatis—orang miskin bersusah payah mengejar sebongkah remeh, sementara orang kaya hanya menyumbang dan menonton.
Panjat pinang di masa kolonial adalah potret pahit: tradisi yang menyatu dengan praktik kekuasaan, di mana rakyat pribumi menjadi alat hiburan bagi dunia kolonial. Mereka yang memanjat bukan karena senang—mereka memanjat karena perlu. Sangat perlu. Dan saat mereka lepas, jatuh, mungkin terluka, tawa tetap terdengar. Tawa yang kita harap tak pernah lagi menjadi bagian dari sejarah bangsa kita.
Referensi
- Fandy Hutari, Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal — menyebut bahwa panjat pinang merupakan hiburan orang Belanda di tahun 1930-an; peserta pribumi, penonton Belanda tertawa menikmati perjuangan mereka detiknewsdecode.uai.ac.id.
- detikNews. “Benarkah Panjat Pinang Warisan Penjajah Belanda? Sejarawan Bicara” (2019) — meneguhkan narasi serta kutipan tentang tawa Belanda menonton penderitaan peserta pribumi detiknews.
- deCODE (Universitas Al-Azhar Indonesia). “Simbol Penindasan pada Masa Penjajahan?” — menggambarkan peserta saling injak demi hadiah pokok melawan eye of colonial elites decode.uai.ac.id.
- Kompas.com (artikel “Populer di Masa Dinasti Ming…”) — menyebut qiang-gu yang populer di Dinasti Ming dan menyebabkan korban jiwa, menunjukkan akar budaya permainan ini luas dan berbahaya secara fisik Kompas.
- Kompas.com (artikel pro-kontra, sisi gelap panjat pinang) — menyentil bahwa lomba ini meninggalkan memori pahit dan kelas sosial di dalamnya
Tinggalkan Balasan