Mengurai Sainstifikasi Islam dan Islamisasi Sains: Jalan Panjang Menyatukan Wahyu dan Akal

Sejak zaman dahulu, umat Islam dikenal sebagai pelopor dalam dunia sains. Nama-nama seperti Al-Khwarizmi, Ibnu Sina, Al-Biruni, dan Ibnu Al-Haytham tercatat dalam sejarah sebagai ilmuwan besar yang meletakkan dasar bagi ilmu pengetahuan modern. Namun, ketika peradaban Islam melemah dan Eropa bangkit melalui Renaissance, Revolusi Ilmiah, hingga Pencerahan, sains berkembang pesat di Barat — sementara dunia Muslim perlahan tertinggal.

Di tengah kondisi ini, muncul pertanyaan besar di kalangan pemikir Muslim: Bagaimana seharusnya umat Islam memandang dan memposisikan sains modern? Apakah cukup mengadopsinya begitu saja, ataukah perlu menyusun pendekatan yang lebih sesuai dengan ajaran Islam?

Dari pertanyaan besar inilah lahir dua pendekatan yang sering terdengar mirip, tetapi sejatinya memiliki arah berbeda: sainstifikasi Islam dan Islamisasi sains. Keduanya sama-sama berusaha menghubungkan wahyu dan akal, agama dan ilmu, tetapi melalui jalur yang berbeda.


Sainstifikasi Islam: Mencari Jejak Sains dalam Al-Qur’an

Sainstifikasi Islam sering kali kita temukan dalam dakwah populer, video ceramah, buku motivasi Islam, hingga media sosial. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa Al-Qur’an mengandung isyarat-isyarat ilmiah yang telah atau akan ditemukan oleh sains modern.

Misalnya, ketika sains menemukan teori Big Bang, muncul klaim bahwa Al-Qur’an telah menyinggungnya melalui ayat-ayat tentang penciptaan langit dan bumi yang dahulu menyatu lalu dipisahkan (QS Al-Anbiya: 30). Ketika embriologi modern menjelaskan tahapan perkembangan janin, para pendakwah menunjukkan bahwa Al-Qur’an juga telah menggambarkan proses itu dalam detail yang menakjubkan (QS Al-Mu’minun: 12–14).

Bagi banyak orang, pendekatan ini terasa menguatkan iman. Rasanya luar biasa mendapati bahwa kitab suci yang turun 14 abad lalu ternyata menyimpan rahasia-rahasia ilmiah yang baru terbukti sekarang. Hal ini memberi kesan bahwa Al-Qur’an bukan hanya kitab petunjuk ibadah, tetapi juga kitab yang memuat pengetahuan semesta.

Namun, tidak sedikit juga yang mengkritik pendekatan ini. Salah satu kritik terbesar datang dari kalangan akademisi Muslim sendiri. Mereka mengingatkan bahwa sains bersifat sementara, selalu berubah seiring penemuan baru. Sementara ayat Al-Qur’an bersifat kekal. Jika kita terus-menerus menafsirkan ayat berdasarkan teori sains sementara, bagaimana jika suatu saat teori itu direvisi? Kita bisa saja terjebak dalam overinterpretation, memaksa makna ayat agar sesuai sains — padahal bisa saja maksud ayat bukan itu.

Sebagai contoh, beberapa dekade lalu para da’i bersemangat menunjukkan bahwa Al-Qur’an telah memuat isyarat tentang teori steady state (bahwa alam semesta tidak memiliki awal atau akhir). Tetapi kini teori itu sudah tergeser oleh Big Bang. Jika tafsirnya berubah-ubah mengikuti sains, di mana letak kekokohan makna Al-Qur’an?

Sainstifikasi Islam memang berhasil membangkitkan minat umat untuk memandang Islam sebagai agama yang rasional, tetapi ada risiko bahwa semangat membuktikan kebenaran Al-Qur’an dengan sains justru mereduksi kedalaman maknanya.


Islamisasi Sains: Menggugat Akar dan Nilai Sains Modern

Berbeda dengan sainstifikasi Islam yang lebih populer di kalangan umum, Islamisasi sains adalah gagasan yang berkembang di ruang akademik. Pendekatan ini tidak sekadar mencocok-cocokkan ayat dengan hasil riset ilmiah, tetapi jauh lebih mendalam: mengkritisi paradigma, nilai, dan asumsi yang mendasari sains modern.

Tokoh seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi berpendapat bahwa sains modern bukanlah sesuatu yang netral. Ia lahir dari rahim peradaban Barat yang sekuler dan materialistik, sehingga membawa nilai-nilai tertentu — seperti pemisahan agama dari ilmu, pemujaan terhadap rasionalitas semata, dan sikap eksploitatif terhadap alam.

Bagi para pendukung Islamisasi sains, umat Islam tidak cukup hanya menjadi konsumen sains Barat. Mereka harus menyusun ulang kerangka sains yang sesuai dengan pandangan dunia Islam (Islamic worldview), yaitu tauhid sebagai pusatnya. Ini berarti:

  • Menata ulang tujuan sains, bukan sekadar untuk menaklukkan alam, tetapi untuk menjalankan amanah sebagai khalifah.
  • Mengubah pendekatan sains yang memisahkan fakta dari nilai, menjadi pendekatan yang mengakui keterlibatan nilai-nilai agama.
  • Mengkritisi metode sains yang terlalu empiris-positivistik, dan membuka ruang bagi pendekatan metafisik yang sah dalam kerangka Islam.

Islamisasi sains tidak semudah menempelkan label “Islam” pada produk sains. Ini adalah proyek besar yang menuntut rekonstruksi epistemologi, metodologi, hingga aplikasi praktis dalam berbagai bidang: biologi, fisika, ekonomi, bahkan psikologi.

Namun, proyek ini juga menghadapi tantangan besar. Di satu sisi, mengubah struktur sains bukanlah pekerjaan sederhana; di sisi lain, tantangan global seperti perubahan iklim, teknologi AI, dan bioetika terus bergerak cepat, sehingga sebagian pihak khawatir proyek Islamisasi malah menjadi utopia yang sulit diterapkan.


Dua Jalur, Satu Tujuan: Menyatukan Wahyu dan Akal

Jika kita ringkas, sainstifikasi Islam berfokus pada membuktikan kebenaran agama melalui sains modern, sementara Islamisasi sains berfokus pada membangun ulang sains agar sejalan dengan nilai-nilai Islam. Keduanya bergerak dari arah yang berbeda, tetapi sama-sama berangkat dari semangat menyatukan wahyu dan akal, iman dan ilmu.

Dalam sejarah Islam, hubungan wahyu dan akal memang selalu menjadi isu penting. Al-Ghazali pernah mengingatkan agar akal tidak melampaui batas wahyu. Ibnu Rusyd (Averroes) sebaliknya menekankan pentingnya akal sebagai alat memahami wahyu dengan benar. Perdebatan ini terus hidup, bahkan hingga era modern, ketika umat Islam harus berhadapan dengan dominasi sains sekuler Barat.

Di tengah perkembangan zaman, kita mungkin perlu berhenti melihat sainstifikasi Islam dan Islamisasi sains sebagai dua kubu yang harus saling berhadapan. Keduanya bisa saja saling melengkapi: sainstifikasi bisa menjadi jalan populer untuk mendekatkan masyarakat awam pada keindahan sains dan Al-Qur’an, sementara Islamisasi sains menjadi jalur serius di ranah akademik untuk membangun kerangka sains yang lebih utuh, tidak terjebak sekularisme.


Penutup

Menjadi Muslim di era modern berarti menghadapi tantangan besar: bagaimana tetap teguh dalam iman sambil terus terbuka pada perkembangan ilmu pengetahuan. Sainstifikasi Islam dan Islamisasi sains adalah dua bentuk ikhtiar yang lahir dari kesadaran ini. Keduanya menawarkan jalan untuk memastikan bahwa umat Islam tidak hanya mengikuti arus zaman, tetapi juga memberikan kontribusi nilai, makna, dan arah bagi perkembangan sains itu sendiri.

Pertanyaan besarnya, tentu: apakah kita siap terlibat serius dalam kedua jalur ini, bukan sekadar sebagai penonton, tetapi sebagai pelaku yang berpikir kritis dan konstruktif?


Referensi

  1. Al-Attas, S. M. N. (1989). Islam and the Philosophy of Science. Kuala Lumpur: ISTAC.
  2. Al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan. Herndon: IIIT.
  3. Harun Yahya. (2001). The Miracles of the Qur’an. Istanbul: Global Publishing.
  4. Hoodbhoy, P. (1991). Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality. London: Zed Books.
  5. Guessoum, N. (2011). Islam’s Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition and Modern Science. London: I.B. Tauris.
  6. Nasr, S. H. (1993). Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *