Lomba Anak TK: Menimbang Ulang Manfaat dan Risikonya bagi Perkembangan Anak

sumber : https://mediacenter.riau.go.id/read/74646/ratusan-anak-tk-ikut-lomba-mewarnai-di-lanud-.html

Lomba-lomba untuk anak-anak usia Taman Kanak-Kanak kini menjadi bagian yang hampir tak terpisahkan dari berbagai peringatan, mulai dari Hari Anak Nasional hingga Hari Kemerdekaan. Jenisnya pun beragam: lomba mewarnai, lomba doa, lomba hafalan surat, bahkan fashion show. Di balik kemeriahan dan antusiasme para orang tua, terselip satu pertanyaan krusial: apakah kegiatan ini sungguh-sungguh mendidik dan mendukung perkembangan anak, atau justru berisiko menimbulkan tekanan psikologis?

Untuk memahami dampaknya secara utuh, kita perlu menilik bagaimana lomba memengaruhi anak usia dini dalam kerangka psikologi perkembangan.


Anak TK Belum Siap untuk Dikompetisikan

Anak usia TK berada pada tahap pra-operasional dalam teori perkembangan kognitif Jean Piaget. Di usia ini, mereka masih berpikir egosentris, belum mampu memahami perspektif orang lain, dan belum sepenuhnya memahami konsep logis seperti perbandingan dan evaluasi. Maka, ketika mereka diminta untuk “bersaing” atau bahkan “dikalahkan”, itu bukan hanya tidak bermakna bagi mereka—tetapi juga bisa melukai secara emosional. Kekalahan bisa dimaknai sebagai penolakan, atau lebih buruk: bahwa dirinya “tidak cukup baik”.

Situasi ini diperparah jika orang tua atau guru tanpa sadar memberi tekanan. Alih-alih menjadi momen eksplorasi dan keceriaan, lomba malah menjadi ajang penilaian yang membebani. Anak bisa mulai melihat dirinya melalui kaca mata hasil, bukan proses.


Harga Diri Anak Bisa Terkikis Perlahan

Pada usia 3 hingga 6 tahun, anak sedang berada dalam fase perkembangan yang oleh Erik Erikson disebut sebagai initiative versus guilt—fase di mana mereka sangat ingin mencoba hal-hal baru, menunjukkan inisiatif, dan mendapatkan pengakuan. Jika percobaan mereka mendapat dukungan dan diterima, maka akan terbentuk rasa percaya diri dan keberanian untuk terus belajar. Namun sebaliknya, jika usaha mereka justru dinilai secara kaku, dibandingkan dengan anak lain, atau bahkan dianggap “gagal”, maka anak mulai merasa bersalah karena berani mencoba. Lambat laun, ini bisa menumbuhkan ketakutan akan kesalahan dan mematikan semangat eksplorasi.

Tak sedikit orang tua yang, dengan niat baik, ingin anaknya “berani tampil”. Namun jika keberanian itu harus ditukar dengan rasa takut dipermalukan di depan umum karena kalah lomba, maka yang terjadi bukan tumbuhnya keberanian, tapi trauma performatif—ketakutan jangka panjang untuk tampil atau dinilai.


Validasi Eksternal Sejak Dini: Awal dari Ketergantungan Emosional?

Anak-anak sangat mudah menangkap pesan implisit dari lingkungan. Ketika mereka merasa hanya dipuji saat menang atau tampil paling baik, maka mereka belajar bahwa nilai dirinya bergantung pada penilaian eksternal. Hal ini sejalan dengan temuan Albert Bandura tentang self-efficacy—kepercayaan seseorang pada kemampuannya sangat dipengaruhi oleh pengalaman sukses dan dukungan sosial. Anak yang terlalu sering dievaluasi secara keras akan kehilangan kepercayaan bahwa dirinya mampu, terutama jika kegagalan itu terjadi di depan publik dan tanpa dukungan emosional yang cukup.

Yang lebih mengkhawatirkan, validasi eksternal yang terlalu dominan bisa membentuk anak yang perfeksionis—anak yang merasa bahwa ia harus selalu benar, harus selalu unggul, dan takut untuk gagal. Ketika perfeksionisme ini bertumbuh tanpa keseimbangan dengan kasih sayang tanpa syarat, maka lahirlah anak-anak yang rapuh secara emosional, mudah cemas, dan takut berbuat salah.


Lomba yang Tak Sesuai Dapat Membunuh Minat Belajar

Beberapa orang tua percaya bahwa lomba bisa menumbuhkan semangat juang atau daya saing anak. Namun riset tentang motivasi menunjukkan sebaliknya. Edward Deci dan Richard Ryan menjelaskan bahwa motivasi terbaik datang dari dalam diri anak—apa yang disebut motivasi intrinsik. Jika anak terlalu sering dimotivasi dengan hadiah, piala, atau pujian saat menang, maka ia akan terbiasa mengejar “pengakuan”, bukan “pembelajaran”.

Hasilnya? Anak bisa kehilangan minat belajar jika tidak ada hadiah. Ia menjadi cepat bosan, dan tidak melihat belajar sebagai proses menyenangkan, melainkan sebagai kompetisi yang menegangkan.


Peran Guru dan Orang Tua: Fasilitator, Bukan Evaluator

Untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan anak, Lev Vygotsky memperkenalkan konsep zona proksimal perkembangan—yakni jarak antara apa yang bisa anak lakukan sendiri dan apa yang bisa ia lakukan dengan bantuan. Aktivitas seperti lomba, jika terlalu sulit atau terlalu menekan, akan keluar dari zona ini. Anak akan merasa frustrasi, bukan tertantang. Di sinilah pentingnya peran guru dan orang tua sebagai fasilitator: mendampingi anak, bukan mengarahkan mereka seperti pelatih atlet.

Anak tidak butuh dibentuk menjadi pemenang sejak kecil. Mereka butuh difasilitasi untuk tumbuh sebagai individu yang percaya diri, penuh rasa ingin tahu, dan merasa dicintai tanpa syarat.


Lomba Bukan Musuh, Tapi Harus Disesuaikan

Lomba tidak harus dihapuskan sepenuhnya dari dunia anak-anak. Yang penting adalah desain dan tujuannya. Apakah lomba itu menumbuhkan rasa ingin tahu? Apakah anak menikmati prosesnya tanpa takut gagal? Apakah orang dewasa di sekeliling anak mendukung, bukan menekan?

Anak-anak tidak meminta untuk ikut lomba. Mereka hanya ingin bermain, belajar, dan merasa berharga. Tugas kita adalah memastikan bahwa semua kegiatan, termasuk lomba, mendekatkan mereka pada itu—bukan sebaliknya

Erikson, E. H. (1963). Childhood and Society (2nd ed.). New York: W. W. Norton & Company.

Piaget, J. (1952). The Origins of Intelligence in Children. New York: International Universities Press.

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The Exercise of Control. New York: W. H. Freeman.

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior. New York: Plenum.

Santrock, J. W. (2011). Life-Span Development (13th ed.). New York: McGraw-Hill.

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2008). Human Development (11th ed.). New York: McGraw-Hill.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *