Lebaran adalah momen yang dinanti-nanti oleh banyak orang di Indonesia. Selain menjadi waktu untuk berkumpul dengan keluarga dan mempererat silaturahmi, Lebaran juga sering kali menjadi ajang pamer dan gengsi. Dari pakaian baru, gadget terbaru, kendaraan mewah, hingga pekerjaan yang mapan, semua seolah menjadi standar kesuksesan yang harus dipertontonkan. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori psikologi sosial yang membahas bagaimana manusia cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain untuk menilai status sosial dan pencapaian mereka.
Mengapa Kita Sering Membandingkan Diri?
Konsep membandingkan diri dengan orang lain dijelaskan dalam Teori Perbandingan Sosial (Social Comparison Theory) yang dikemukakan oleh Leon Festinger pada tahun 1954. Teori ini menyatakan bahwa manusia secara alami membandingkan diri mereka dengan orang lain untuk mengevaluasi posisi mereka dalam masyarakat. Perbandingan ini bisa bersifat upward comparison (membandingkan diri dengan mereka yang lebih unggul) atau downward comparison (membandingkan diri dengan mereka yang kurang beruntung).
- Upward Social Comparison
- Ini terjadi ketika seseorang melihat orang lain yang lebih sukses atau lebih kaya, lalu merasa dirinya kurang berhasil. Contohnya, ketika melihat sepupu atau teman sebaya memiliki iPhone terbaru, seseorang bisa merasa kurang mampu jika masih menggunakan model lama. Akibatnya, ia terdorong untuk membeli iPhone terbaru meskipun harus mencicil atau bahkan menyewa hanya untuk pamer saat Lebaran.
- Downward Social Comparison
- Sebaliknya, seseorang yang merasa lebih sukses dibanding kerabat atau teman yang belum memiliki pekerjaan tetap bisa merasa lebih unggul dan percaya diri atas pencapaiannya. Hal ini memberikan rasa puas dan meningkatkan harga diri, meskipun sering kali bersifat semu.
Lebaran dan Budaya Gengsi di Indonesia
Budaya konsumtif dan tekanan sosial saat Lebaran sangat terlihat dalam berbagai aspek berikut:
- Gadget dan Barang Mewah
- iPhone terbaru, smartwatch, atau tas bermerek menjadi simbol status sosial yang ditampilkan saat Lebaran. Bahkan, ada fenomena menyewa gadget atau barang mewah hanya agar terlihat mampu dan sukses.
- Pakaian Baru dan Mewah
- Membeli baju baru memang tradisi, tetapi bagi sebagian orang, merek dan harga menjadi faktor penting. Pakaian dari desainer ternama atau brand mahal sering kali dianggap sebagai standar sukses, meskipun harus mengorbankan keuangan pribadi.
- Kendaraan dan Properti
- Menyewa mobil mewah untuk pulang kampung atau menunjukkan rumah baru yang masih dalam tahap cicilan adalah praktik umum yang dilakukan demi gengsi.
- Pekerjaan dan Status Sosial
- Dalam obrolan keluarga saat Lebaran, pertanyaan seperti “Sekarang kerja di mana?” atau “Sudah punya rumah sendiri?” sering kali menjadi tolok ukur kesuksesan seseorang. Hal ini bisa membuat mereka yang belum memiliki pekerjaan mapan merasa rendah diri, sementara yang sudah sukses merasa lebih unggul.
Dampak Negatif dari Ajang Gengsi Saat Lebaran
- Tekanan Finansial – Membeli barang mahal demi gengsi bisa menyebabkan masalah keuangan jangka panjang, terutama jika dilakukan dengan cicilan yang tidak terkontrol.
- Stres dan Kecemasan – Perasaan bahwa diri sendiri ‘kurang sukses’ dibanding orang lain bisa memicu kecemasan, stres, atau bahkan depresi.
- Meningkatnya Kesenjangan Sosial – Perbandingan sosial yang berlebihan bisa memperparah kesenjangan antara si kaya dan si miskin, terutama ketika seseorang merasa harus ‘menyesuaikan diri’ dengan standar sosial tertentu.
- Hilangnya Esensi Lebaran – Seharusnya, Lebaran adalah momen untuk berbagi dan mempererat silaturahmi, bukan ajang pamer dan persaingan sosial.
- Perilaku Konsumtif Berlebihan – Kebiasaan membeli barang hanya untuk pamer bisa menanamkan pola hidup konsumtif yang sulit dikendalikan, sehingga seseorang lebih mengutamakan penampilan daripada kebutuhan nyata.
- Hubungan Sosial yang Tidak Sehat – Ajang gengsi bisa menciptakan hubungan sosial yang tidak tulus, di mana seseorang lebih dihargai karena status dan kepemilikan barang daripada karakter dan nilai moralnya.
Bagaimana Menghindari Gengsi Berlebihan Saat Lebaran?
- Bersyukur dengan Apa yang Dimiliki – Fokus pada kebahagiaan keluarga dan makna spiritual Lebaran daripada membandingkan diri dengan orang lain.
- Kelola Keuangan dengan Bijak – Jangan memaksakan diri membeli sesuatu hanya demi gengsi. Pastikan setiap pembelian sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan finansial.
- Jangan Terpancing oleh Media Sosial – Media sosial sering kali memperkuat budaya perbandingan. Ingat bahwa banyak orang hanya menampilkan sisi terbaik hidup mereka di media sosial, bukan kenyataan seutuhnya.
- Ubah Pola Pikir – Kesuksesan tidak diukur dari barang mewah atau status sosial, tetapi dari kebahagiaan, ketenangan batin, dan hubungan baik dengan orang lain.
- Prioritaskan Nilai dan Hubungan Sosial – Lebih baik fokus pada membangun hubungan baik dengan keluarga dan teman daripada berusaha mengesankan mereka dengan materi.
- Berinvestasi dalam Hal yang Bermakna – Daripada menghabiskan uang untuk barang gengsi, lebih baik berinvestasi dalam pendidikan, pengalaman, atau amal yang memberikan manfaat jangka panjang.
- Kurangi Interaksi dengan Lingkungan yang Kompetitif Secara Material – Jika lingkungan sosial terlalu menekan untuk tampil mewah, ada baiknya mengurangi interaksi yang hanya didasarkan pada persaingan status sosial.
Kesimpulan
Ajang gengsi saat Lebaran bukan hanya sekadar fenomena konsumtif, tetapi juga merupakan manifestasi dari kecenderungan alami manusia untuk membandingkan diri dengan orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam Teori Perbandingan Sosial. Meskipun membandingkan diri dengan orang lain adalah hal yang alami, kita harus lebih bijak dalam menyikapinya agar tidak terjebak dalam tekanan sosial yang tidak perlu. Esensi Lebaran bukanlah soal siapa yang paling sukses atau siapa yang memiliki barang paling mahal, tetapi tentang kebersamaan, keikhlasan, dan kembali ke fitrah sebagai manusia yang penuh syukur.
Daftar Referensi
- Festinger, L. (1954). A Theory of Social Comparison Processes. Human Relations, 7(2), 117-140.
- Gibbons, F. X., & Buunk, B. P. (1999). Individual differences in social comparison: Development of a scale of social comparison orientation. Journal of Personality and Social Psychology, 76(1), 129-142.
- Richins, M. L. (1994). Valuing things: The public and private meanings of possessions. Journal of Consumer Research, 21(3), 504-521.
Tinggalkan Balasan