Demo dalam Islam dalam Konteks Demokrasi Indonesia

Demonstrasi atau yang biasa disebut demo merupakan salah satu fenomena sosial yang tidak asing lagi di Indonesia. Hampir setiap tahun, kita menyaksikan berbagai kelompok masyarakat turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi, baik terkait isu politik, ekonomi, hukum, maupun kebijakan publik lainnya. Dalam sistem demokrasi Indonesia, demonstrasi bahkan telah menjadi salah satu sarana resmi untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

Namun, persoalan yang sering muncul adalah bagaimana Islam memandang fenomena demo ini. Sebagian orang menolak demo dengan alasan bahwa ia termasuk bentuk pembangkangan terhadap pemerintah (ulil amri) yang dilarang dalam syariat. Ada pula yang menganggap demo identik dengan bughat (pemberontakan), sehingga hukumnya haram. Di sisi lain, ada kalangan ulama kontemporer yang membolehkan demonstrasi damai sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi munkar dan sarana untuk memperjuangkan keadilan sosial.

Lalu, bagaimana sebenarnya hukum demo dalam Islam, khususnya jika kita melihatnya dalam konteks demokrasi Indonesia?


Prinsip Ketaatan kepada Ulil Amri dalam Islam

Islam menekankan pentingnya menjaga stabilitas dan ketaatan kepada penguasa. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an:

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.”
(QS. An-Nisa: 59)

Ayat ini menunjukkan bahwa setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul, umat Islam diwajibkan untuk taat kepada pemimpin yang sah (ulil amri). Namun, ketaatan ini bukanlah ketaatan mutlak. Dalam hadis sahih, Nabi ﷺ bersabda:

“Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam perkara yang ia sukai maupun yang ia benci, selama tidak diperintah untuk bermaksiat. Jika diperintah untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban untuk mendengar dan taat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan dua hal:

  1. Taat kepada penguasa adalah kewajiban, bahkan dalam perkara yang tidak disukai.
  2. Namun, ketaatan ini memiliki batas: tidak boleh dalam kemaksiatan.

Islam juga mengingatkan bahaya pemberontakan (bughat) terhadap penguasa sah, karena biasanya menimbulkan kerusakan lebih besar daripada maslahat yang diinginkan.


Memahami Bughat dan Beda dengan Demo Damai

Dalam kitab-kitab fikih klasik, istilah bughat merujuk pada kelompok Muslim yang memberontak kepada pemerintah sah dengan cara mengangkat senjata. Bughat hukumnya haram, kecuali jika pemerintah tersebut secara terang-terangan keluar dari Islam atau memerintahkan kekufuran yang nyata.

Dalil larangan memberontak di antaranya adalah sabda Nabi ﷺ:

“Barang siapa yang membenci sesuatu dari penguasanya, hendaklah ia bersabar. Karena siapa saja yang keluar dari ketaatan sejengkal saja lalu mati, maka matinya seperti mati jahiliyah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, penting untuk dicatat bahwa bughat berbeda dengan demonstrasi damai. Ada beberapa poin pembeda:

  1. Bughat melibatkan senjata dan niat menggulingkan penguasa.
    Demo damai tidak menggunakan senjata, tidak berniat menggulingkan penguasa, melainkan menyampaikan aspirasi.
  2. Bughat menimbulkan kekacauan dan pertumpahan darah.
    Demo damai (jika tertib) justru dilakukan dalam kerangka hukum dan aturan negara.
  3. Bughat merusak stabilitas negara.
    Demo damai bisa menjadi sarana perbaikan kebijakan publik.

Dengan demikian, tidak tepat jika setiap demo otomatis dianggap sebagai bughat.


Konteks Demokrasi di Indonesia

Indonesia adalah negara demokrasi konstitusional. Dalam sistem ini, rakyat diberi hak dan ruang untuk menyampaikan pendapat, kritik, dan aspirasi kepada pemerintah. Hal ini dijamin oleh konstitusi:

  • UUD 1945 Pasal 28E ayat (3):
    “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
  • UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Artinya, demonstrasi bukanlah tindakan melawan pemerintah. Justru sebaliknya: demo adalah bagian dari sistem yang dibuat oleh pemerintah itu sendiri untuk memberi ruang kepada rakyat dalam berdemokrasi.

Karena itu, ikut demo di Indonesia selama sesuai aturan hukum bukanlah bentuk ketidaktaatan pada pemerintah. Justru itu adalah bentuk pelaksanaan hak warga negara yang sah.


Pandangan Ulama Kontemporer tentang Demo

Beberapa ulama kontemporer memiliki pandangan positif terhadap demonstrasi damai:

  1. Syekh Yusuf al-Qaradawi menegaskan bahwa demonstrasi damai adalah salah satu bentuk amar ma’ruf nahi munkar. Menurutnya, umat Islam memiliki kewajiban untuk menegakkan kebenaran, dan salah satu caranya di era modern adalah dengan demonstrasi yang damai.
  2. Wahbah Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh menjelaskan bahwa demonstrasi damai diperbolehkan sebagai sarana advokasi, selama tidak menimbulkan kerusakan, kekerasan, atau pelanggaran syariat.
  3. Majelis Ulama Mesir (Dar al-Ifta’ al-Misriyyah) dalam beberapa fatwanya juga menekankan bahwa demonstrasi damai yang dilakukan untuk menegakkan keadilan dan melawan kezaliman, tanpa kekerasan dan kerusakan, hukumnya boleh.

Dalil-Dalil yang Mendukung Kebolehan Demo Damai

Beberapa prinsip Islam yang mendukung kebolehan demo damai antara lain:

  1. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
    Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemah iman.”
(HR. Muslim)

Demo damai bisa masuk kategori nahi munkar dengan lisan, yaitu menyuarakan aspirasi terhadap kebijakan yang tidak adil.

  1. Larangan berbuat kerusakan
    Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.”
(HR. Ibnu Majah, Malik, Ahmad)

Karena itu, demo hanya boleh dilakukan jika damai, tanpa kekerasan, dan tidak merusak fasilitas umum.

  1. Kewajiban menasihati penguasa
    Nabi ﷺ bersabda:

“Agama itu adalah nasihat.” Para sahabat bertanya: ‘Untuk siapa, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslimin, dan umat Islam secara umum.’”
(HR. Muslim)

Demo damai bisa menjadi salah satu bentuk nasihat kolektif kepada penguasa, selama tujuannya kebaikan.


Etika Demo dalam Perspektif Islam

Islam memberi batasan yang jelas agar demo tidak melenceng dari tujuan mulia. Beberapa etika yang harus dijaga:

  1. Harus damai, tanpa anarkisme dan kekerasan.
  2. Tidak merusak fasilitas umum dan tidak mengganggu hak orang lain secara berlebihan.
  3. Tujuannya mulia, yaitu menegakkan keadilan, menolak kezaliman, atau menyampaikan aspirasi rakyat.
  4. Tidak menimbulkan fitnah atau kerusakan yang lebih besar.
  5. Mengikuti aturan hukum yang berlaku, karena dalam demokrasi ruang demo telah diatur.

Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka demo bukan sekadar boleh, tapi bisa bernilai ibadah karena menjadi wujud nyata dari amar ma’ruf nahi munkar.


Dalam Islam, ketaatan kepada penguasa adalah kewajiban, tetapi bukan ketaatan mutlak. Islam melarang pemberontakan bersenjata (bughat), namun tidak melarang umat Islam menyampaikan aspirasi dengan cara damai.

Dalam konteks demokrasi Indonesia, demonstrasi bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan hak konstitusional yang justru diatur oleh pemerintah. Karena itu, demo damai tidak bisa disamakan dengan bughat.

Selama demonstrasi dilakukan dengan damai, tidak merusak, dan bertujuan mulia, maka ia dibolehkan dalam Islam bahkan bisa bernilai amal kebaikan.



Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *